#26 Boediono dan Sejarah
MUNGKIN inilah buku yang paling tidak ‘sombong’ yang pernah saya baca. Lebih tepatnya penulisnya tidak sombong menuliskan profilnya. Judul buku itu: Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Nama penulisnya Boediono. Anda tahu beliau siapa.
Bagian terakhir buku tersebut — yang biasanya berisikan cerita perjalanan panjang si penulis, hanya ditulis olehnya seperti ini:
“Prof. Dr. Boediono adalah guru besar pada Universitas Gadjah Mada. Selama tiga puluh tahun berkarya di berbagai bidang pemerintahan, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Setelah pensiun, banyak waktunya digunakan untuk berceramah, berlatih kebugaran, dan berenang.”
Singkat, padat, jelas, dan menggelitik.
Kata orang, jika ingin mengenal penulis sebuah buku. Cukup lihat bagian prakata atau biografi penulis. Sebab di situlah bagian paling murni dari kepenulisan. Di sana, penulis menuliskan apa adanya. Dari hati. Tanpa memerlukan daftar pustaka.
Ini buku kedua dari Prof. Boediono yang pernah saya baca. Yang pertama judulnya Ekonomi Mikro. Terbitan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) UGM. Wajar diterbitkan oleh kampus. Karena itu memang buku untuk kuliah.
Namun yang satu ini tidak wajar. Diterbitkan oleh Mizan. Penerbit progresif yang cukup terkenal dengan kualitas buku pemikiran sayap kanannya. Yang tiap tahun menerbitkan 600 judul buku. Hal ini membuat saya semakin melirik buku ini.
Memang ini buku gratisan. Saya dapatkan dari Bank Indonesia. Sempat tersimpan lama di Balairung UGM, sebelum dikirim oleh seorang teman.
Saat pertama membuka buku ini. Saya terkaget. Ternyata ada tanda tangan asli Prof. Boediono di halaman pertamanya. Lantas rasa syukur atas keberuntungan saya panjatkan kepada-NYA.
Bagi saya sendiri, Prof. Boediono adalah sejarah. Namanya sering sekali dielu-elukan saat saya duduk di bangku kuliah. Tentu sebagai alumni yang menginspirasi. Kebetulan kami satu almamater. Bedanya saya lulus di UGM, sedangkan beliau di Western Australia University — pindah di awal perkuliahan.
Walaupun begitu, saya tidak pernah diajar langsung oleh Prof. Boediono. Hanya sekali dua kali, itupun di acara seminar akbar. Kebetulan saat saya masuk, beliau telah pensiun. Memilih menyepi dari urusan duniawi.
Prof. Boediono adalah keturunan Blitar, Jawa Timur. Beliau lahir pada tanggal 25 Februari 1943. Di bulan yang sama saat pertama kalinya Jepang kalah perang melawan Sekutu di Kepulauan Solomon.
Tidak banyak yang bisa digali dari Boediono kecil di jejaring Google — menandakan beliau tokoh publik yang sangat menjaga privasi. Yang dapat ditemukan hanyalah informasi bahwa beliau pernah mengenyam pendidikan dasar di Muhammadiyah. Selebihnya hanya seputar Blitar.
Mulai dari pendidikan menengah, hingga menikahnya pun dengan gadis Blitar. Yang dilamarnya dengan menerbangkan sepucuk surat dari Australia ke Jawa Timur. Namanyi Ibu Herawati Boediono. Seorang wanita jawa sederhana dengan dua orang anak. Hobinyi: menyetir mobil sendiri dan antar-jemput suaminyi.
Setelah mendapatkan gelar sarjananya, Boediono melanjutkan studi masternya di Monash University dan doktornya di Pennsylvania University. Kemudian menjadi guru besar di UGM dan memilih menetap di Kota Pelajar Yogyakarta.
Karir pengabdiannya dimulai pada tahun 1998, saat Presiden Habibie menunjuknya sebagai Menteri PPN/Bappenas. Satu tahun mengabdi, beliau berhasil mendorong kemitraan pembaruan tata pemerintahan untung mendorong reformasi.
Di era Gus Dur, beliau menganggur. Barulah pada tahun 2001, Prof. Boediono diangkat Presiden Megawati menjadi Menteri Keuangan. Bersama Prof. Dorojatun Kuntjro-Jati, Menko Perekonomian saat itu, mereka membuat ‘The Dream Time’. Berhasil melepas bayang-bayang Indonesia dari jerat International Monetary Fund (IMF) dan menstabilkan kurs di angka Rp9.000 per $US.
Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau dimandatkan kembali menjadi bendahara negara. Namun ditolaknya. Memilih untuk beristirahat dan kembali mengajar.
Barulah pada Reshuffle kabinet tahun 2005, Prof Boediono dicoba dirayu kembali. Berhasil. Kali ini menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian. Saat itu, seakan semesta mendukung penunjukannya, terutama ‘pasar’. Buktinya rupiah dan IHSG menyambut positif — menguat naik sekitar 2%.
Pada 2008, DPR menjadikannya sebagai calon tunggal Gubernur Bank Indonesia. Semesta kembali mendukung. Semuanya bersepakat. Termasuk Presiden, Gubernur BI sebelumnya, Menteri Keuangan, dan seluruh perwakilan rakyat. Kecuali fraksi PDIP.
Terbukti selalu berhasil menjalankan tugas, Prof. Boediono memiliki julukan the man to get the job done. Sebuah apresiasi atas kerja keras dan kesungguhannya.
Sampai pada tahun 2009, Anda sudah tahu beliau menjadi apa. Sempat ditentang banyak pihak. Akhirnya takdir Allah tidak terbendung. Prof. Boediono melenggang sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama yang berlatar belakang ekonomi dan non-partisan, tanpa tedeng aling aling, setelah Mohammad Hatta.
Akan tetapi di balik semua prestasinya. Prof. Boediono tidak lepas dari berbagai kontroversi. Yang paling menarik idenya tentang penghapusan subsidi sembako bagi rakyat. Baginya subisidi merupakan candu yang memanjakan masyarakat.
Yang terbesar tentu kasus penyelamatan Bank Century. Yang saya pribadi tidak percaya kalau ada aliran dana yang masuk keantong beliau. Wong rumahnya aja yang ada di Sawit Sari Condong Catur, selatan Monumen Pahlawan Pancasila, terlihat tidak seperti rumah mantan Wakil Presiden.
Lainnya tentu isu tenang ‘antek IMF’. Yang satu ini bisa disangkal dengan kedekatan beliau terhadap tokoh Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Prof. Mubyarto.
Kalau tentang isu neoliberalisme. Saya sendiri masih sedikit percaya. Dalam buku Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah terdapat kesan bagaimana beliau sangat berpihak pada ekonomi liberal dibanding sistem yang lainnya. Faktanya sejarah perekonomian Indonesia pun berkata begitu.
Selain itu, stigma neoliberalisme tersebut terindikasi dari bertambahnya utang negara sebesar Rp400 triliun pada periode 2004–2009. Walupun debt ratio to GDP turun drastis dari 100% pada 1999 menjadi 35% pada 2009.
Dalam bukunya juga sangat lugas diterangkan tentang sejarah kebijakan ekonomi yang pernah diambil oleh pemerintah yang berkuasa di Nusantara. Mulai dari apa, bagaimana, dan alasan yang melatar belakanginya.
Membaginya menjadi dua bagian: sebelum dan paska kemerdekaan. Dimulai dari zaman VOC, sistem ekonomi kolonial, dan imbas perang dunia. Sampai ke bagian bagaimana politik dan economy-based resource — minyak — banyak mempengaruhi kebijakan orde baru, orde lama, dan reformasi.
Semua cerita itu terbungkus rapi dalam buku berisi 309 halaman tersebut. Sampai saya berpikir: mengapa tidak semua guru besar di negeri ini diminta untuk menuliskan buku sejenis ini tapi untuk disiplin ilmu yang berbeda?
Tentu hal ini akan membuat banyak anak muda bisa lebih mengetahui perkembangan dari bidang yang mereka gandrungi. Dan yang lebih penting: dapat belajar dari pendahulunya. Agar tidak menjadi keledai. Seringnya terjebak dalam kesalahan yang sama.
Karena kata dosen saya yang katanya sangat kesusahan dapat nilai B — nilainya selalu A: “Tidak banyak yang suka sejarah. Memang harusnya begitu.. Sebab hanya calon pemenang di masa depanlah yang belajar dari sejarah! Itulah mengapa saya senang belajar sejarah.”